Jumat, 27 Mei 2011

KEBIJAKAN LUAR NEGERI SINGAPURA DALAM PERKEMBANGAN EKONOMINYA

1.1 LATAR BELAKANG

Singapura adalah sebuah negara kecil ditinjau dari ukuran geografi serta sumber daya alamnya. Negara yang usianya relatif baru ini berada di tengah negara-negara tetangga yang penduduknya mayoritas etnis Melayu dan yang jauh lebih besar ukuran geografis, penduduk, dan sumber daya alam­nya. Apalagi negara-kota ini mayoritas penduduknya adalah etnis Cina, yang membuat Singapura senantiasa merasa berada di tengah kawasan yang tidak menentu. Kondisi ini­lah yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi Singa­pura. Lebih jauh, kondisi perekonomian Singapura tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan para pengambil keputusan terhadap kesatuan wilayah, stabilitas politik domestik, dan pertahanan nasionalnya. Kesatuan Wilayah juga menjadi persoalan paling mendasar para pemimpun Singapura, yang di dominasi oleh People Action Party (PAP)

Meskipun Singapura merupakan anggota ASEAN, namun ia juga sangat dekat dengan AS. Di dalam East Asia Summit (EAS), posisi Singapura juga jelas masih konsisten ingin Amerika Serikat turut serta dalam menentukan masa depan Asia Timur. Intinya, Singapura berpendirian EAS perlu inklusif dan melibatkan Amerika. Dalam perkembangan keadaan internasional yang menempatkan AS makin kuat bersaing dengan China sebagai kekuatan yang makin menonjol, belum jelas bagaimana sikap Singapura yang bagian terbesar rakyatnya adalah etnik China. Namun bahwa Singapura adalah sekutu dekat dengan AS, juga dalam strategi pertahanan, adalah kenyataan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Kebijakan politik luar negeri apa yang lebih ditekankan Singapura dalam pembangunannya? Faktor apa juga yang turut mempengaruhinya?

1.3 TUJUAN

1.3.1 Untuk mengetahui faktor – faktor pendukung kebijakan luar negeri Singapura, khususnya dalam bidang ekonomi.

1.3.2 Untuk meneliti seberapa jauh langkah – langkah yang diambil oleh Singapura dalam hal memperkuat ekonomi internasionalnya.

BAB II

PEMBAHASAN

Politik Luar Negeri Singapura bisa dikatakan adalah cermin representasi kepentingan AS di Asia Tenggara, walaupun tetap mengedepankan upaya-upaya diplomatik demi menjaga stabilitas regional di kawasan.

Singapura Pada dasarnya menghormati salah satu prinsip ASEAN untuk ti­dak mencampuri urusan dalarn negeri negara lain. Paling tidak ada 5 hal pokok yang fundamental di dalam pelaksanaan Politik Luar Negeri Singapura sampai sekarang, yaitu:

* Maintain a credible and deterent military defence as the fundamental underpining for effective foreign policy;
* Promote and work for good relations with our immediate neighbours in all sphere based om mutual respect and sovereignity. In this regard, Singapore is fully committed to the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN);
* Play an active role in international organizations such as the United Nations
* Continue to work for the maintenance of a free and open multilateral trading system; and
* Trade with any state for mutual benefit and maintain an open market

Rejim PAP juga memandang politik dalam negeri sebagai persoalan sangat mendasar bagi kelangsungan negara –kota Singapura. Dulu Perdana Menteri Lee Kuan Yew menjadikan PAP partai tunggal yang menopang dinamika politik Singapura. Walaupun kondisi ini menjauhkan Singapura dari prospek demokrasi, kelangsungan hidup sebagai negara-kota membu­at sistem partai tunggal sebagai satu-satunya modal paling tepat untuk mengendalikan politik domestik. Dengan demi­kian, kelangsungan Singapura sangat ditentukan oleh dominasi PAP dalam setiap pemilihan dari tahun 1959 hingga kini. Di samping itu, dominasi etnis Cina di Singapura membuat dominasi partai tunggal menjadi sangat penting. Bahkan jauh lebih penting dari demokrasi mengingat besarnya sentimen, anti-Cina di negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia.

Unsur mendasar lainnya bagi kelangsungan Singapura ada­lah pertumbuhan dan pembangunan ekonominya. Sebagai se­buah negara yang tidak memiliki sumber daya alam, Singapura bahkan mengimpor air dari Malaysia dan kemudian juga dari Indonesia. Dalam konteks ini Singapura benar-benar miskin. Untuk menjamin kelangsungan hidupnya. perekonomian di­arahkan untuk menguasai pasar luar negeri, menarik sebanyak mungkin investasi asing, dan mencetak tenaga trampil untuk untuk mendukung potensi pasarnya. Buat Singapura, fokus pada pembangunan eko­nomi, perdagangan internasional dan dominasi etnis Cina memerlukan kebijakan yang tidak banyak mendapat perla­wanan. Oleh sebab itu, Singapura menutup pintu bagi parti­sipasi politik terbuka (sebagaimana di negara demokrasi maju) dan menindas oposisi agar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menjadi andalan utama kemajuan Negara Singapura.

Para pengambil keputusan Singapura memandang ada beberapa hal yang merupakan ancaman potensial bagi dasar-­dasar keamanan negara sebagaimana diuraikan di atas. An­caman ini sangat berpotensi menghadapi kelangsungan hidup negara-kota (City-State). Sebagai negara kecil dan miskin sumber daya alam Singapura dituntut untuk mampu merinci dengan jelas bentuk-bentuk ancaman tersebut sehingga akan memberinya kemudahan untuk melakukan antisipasi.

Kekhawatiran terhadap Cina membuat Singapura sangat terlambat dalam membuka hubungan dengan Cina dibanding negara tetangga lainnya. Potensi ancaman lain adalah perekonomian Singa­pura yang tergantung pada perdagangan internasional, di samping ketergantungan air pada Malaysia dan Indonesia. Sebagai negara miskin sumber daya Singapura berusaha keras untuk dapat menjadi pemain inti dalam sistem perdagangan internasional.

Ketergantungan Singapura pada in­vestasi dan perdagangan internasoional menjadikan negara tersebut sangat agresif untuk memperkuat serta mengembangkan sayap ekonomi domestik dan internasional. Di tingkat domestik, pemerintahan Singapura memperkuat perusahaan-perusahaan negara dan mengelolanya secara profesional. Dampak positif dari usaha keras ini terlihat pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Bahkan untuk memperkuat sayap internasionalnya, Singapura sangat agresif pula mendorong ASEAN Free Trade Area dan APEC.

PERKEMBANGAN TERKINI SINGAPURA

Kesungguhan Singapura untuk memperkuat sayap ekonomi internasionalnya dibuktikan dengan menjadikan Singapura sebagai kantor pusat APEC. Dalam forum APEC, Singapura (sebagai negara tempat secretariat APEC berada) sebagai sekutu Amerika Serikat , bersama Jepang dan Australia, sepakat dalam posisi untuk mendorong reformasi pembuatan kebijakan forum tersebut, termasukuntuk memperkuat fungsi APEC sebelum 2010, batas waktu bagi ekonomi maju anggota APEC mewujudkan perdagangan multilateral, Mempercepat Integrasi Ekonomi Kawasan, dan investasi yang terbuka dan bebas sebagaimana tercantum dalam Tujuan Bogor 1994 dan komitment putaran di Doha Sementara target untuk negara berkembang adalah 2020. Australia, Singapura dan Jepang masing-masing menjadi tuan rumah KTT APEC tahun 2007, 2009 dan 2010.

Posisinya sebagai ‘informal leader Asean’ di bidang keuangan dengan cadangan devisa per Januari 2008 yang mencapai US$137 miliar, Singapura tentu saja memerlukan tempat di ASEAN dan sekitarnya untuk memarkir dananya, sekaligus menjamin masuknya dana, keuntungan ataupun input lain guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Kerentanan hubungan intra-ASEAN akan memengaruhi posisi Singapura yang menempatkan diri sebagai pintu masuk-keluar perdagangan Asean terhadap mitra dagangnya yang secara geografi letaknya jauh (Jepang, China, AS, Uni Eropa, dan lainnya). Itu sebabnya, secara ekonomi maupun politik, Singapura akan selalu diuntungkan oleh kemajuan negara-negara ASEAN.

Akhir-akhir ini perkembangan ASEAN lebih dipengaruhi oleh kepentingan pelaku pasar ketimbang keinginan petinggi negara anggota. ASEAN + 3 (Korea, China dan Jepang) adalah format lobi yang mengarah kepada terbentuknya Komunitas Asia Timur. Ketiga negara yang perekonomianya lebih matang dari hampir semua anggota ASEAN ini tidak segan-segan turut menandatangani traktat amity ASEAN. Perkembangan terakhir dan terkesan tergesa-gesa dan tidak transparan ke warga negara anggota adalah penandatanganan ASEAN Charter.

Berbagai usaha keras yang dilakukan PAP memang menjadikan Singapura sebagai negara paling makmur dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya. Penampilan ekonominya hingga saat ini menjadikan iri hati negara-negara tetangganya. Singapura tercatat sebagai negara terkaya keempat di dunia setelah Swiss, Jepang, dan Norwegia. Untuk menopang keberhasilan ekonominya, PAP mengurangi peluang bagi peningkatan partisipasi politik warga. Oposisi ditekan secara sistematis, pegawai negara dikondisikan agar menjadi apolitis dan mendukung penuh program-program pemerintah, semua kelompok sipil di luar pemerintah harus tunduk pada petunjuk pemerintah. Sebagai gantinya, pemerintah Singapura menyediakan layanan dan jaminan yang sangat baik bagi warganegaranya. Jadi walaupun hak-hak politiknya dibatasi, pemerintah konsekuen menyediakan berbagai kebutuhan rakyat Singapura.

KESIMPULAN

Ekonomi Singapura sekarang ini diprediksikan berada dalam track yang baik dalam rangka pemulihan dari resesi terbesar sejak negara ini merdeka pada tahun 1965 lalu. Meskipun diperkirakan bahwa ekonomi Singapura akan mengalami kontraksi sebesar 6% di tahun 2009, sinyal bahwa yang terburuk telah dilewati cukup baik.

Pada bulan Juli 2009 ekspor dan sektor manufaktur mengalami kenaikan dan harga property mulai mengalami peningkatan. Sejak mencapai level terendah di bulan Maret 2009 bursa saham Singapura telah membukukan kenaikan sebesar 90%.

Semantara itu, penduduk Singapura sekarang ini telah bertambah mencapai hampir lima juta jiwa. Seperempat darinya adalah buruh migran. Warga Singapura cemas arus buruh migran ini mengakibatkan persaingan di lapangan kerja, serta berdampak terhadap standar kehidupan. Penelitian pemerintah menunjukkan jumlah pendatang yang diberikan ijin tinggal tetap naik lebih dari sebelas persen tahun 2009. Awal bulan oktober 2009 Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan, pemerintah Singapura akan membatasi arus buruh migran setelah krisis ekonomi melanda pertumbuhan perekonomian Singapura. Tapi pada waktu bersamaan ia mengakui Singapura tetap butuh buruh migran.

DAFTAR PUSTAKA

1. OSEAFAS [ The Oracle of Southeast Asia Faith and Studies ]

We’re Not Just Any Asian, We’re South-East Asian oleh Igor Dirgantara

2. www.wikipedia.com

3. Pacific Link, Singapura Baru dan Indonesia Baru oleh Soedradjad

Minggu, 22 Mei 2011

Teori Postmodern

Teori Postmodern

Keluarga lain teori digambarkan dan dievaluasi dalam Administrasi Publik. Primer teori pada umumnya menerima sebagai dasar sebagai tesis dasar mereka norma ilmu sosial empirist positivist. Teori administrasi publik bisa menjadi paling mudah dimengerti sebagai antitesis postitivisme dan logika ilmu sosial obyektif. Karena teori postmodern menolak banyak asumsi epistemologis dasar mengenai ilmu sosial perilaku, ini sulit untuk menempatkan bab ini mengenai teori postmodern dalam Primer. Teori postmodern telah mempengaruhi teori institusional dan teori manajemen publik lebih dari pilihan-pilihan lain dalam Primer, sehingga kami menilai ini sebagai paling berhubungan dengan mereka, yang menjelaskan penempatan bab ini. Karena ini adalah sebuah antitesis, beberapa orang mengatakan bahwa teori postmodern tidak masuk dalam Primer sama sekali. Kami tidak setuju. Teori postmodern memiliki banyak penganut dalam administrasi publik, beberapa lebih ortodox dan bernafsu daripada yang lain. Yang lebih penting, berbagai aliran teori yang sekarang telah bergabung dan mengalir bersama dalam sungai teori postmodern telah mempengaruhi body lain teori yang tercover dalam Primer


Humanisme dan postpositivisme organisasional
Konsep ini, ide-ide dan argument yang kami kumpulkan bersama sebagai teori postmodern, memiliki sebuah asal menarik dalam administrasi publik modern. Meskipun sewenang-wenang, ini bisa dikatakan bahwa apa yang sekarang dianggap sebagai asal teori administrasi publik postmodern dalam usaha perintisan dari Chester Barnard (1948) dan interpretasinya mengenai hasil dari eksperimen Hawthorne (Roethlisberger dan Dickson 1939). Berlawanan dengan penekanan atau struktur organisasi formal dan prinsip manajemen dalam administrasi publik awal. Barnard menggambarkan organisasi sebagai lingkungan yang sangat sosial dimana pekerja tertarik dalam pengakuan dan dukungan psikologi sebagaimana dalam gaji dan kondisi kerja yang menarik. Dalam seting ini, fitur informal fungsi oirganisasi harian lebih penting daripada struktur birokratik formal dalam arti kepuasan pekerja dan produktivitas. Konsep Barnard kemudian disederhanakan dan kedalam kontek filosofis oleh Douglas McGregor (1960). Individud alam organisasi, McGregor dikatakan, secara alami cenderung untuk bekerja, untuk mencari tanggung jawab, bekerjasama, produktif, dan merasa bangga dalam usaha mereka. Namun, organisasi disusun dan dikelola dengan dasar asumsi dan karena ini, arah dan kuota produksi diperlukan. Pada pertengahan tahun 1960an, perspektif humanistic atau organisasi dalam administrasi publik muncul, sebagian besar didasarkan pada karya Barnard dan McGregor.
Dalam akhir tahun 1960an, pada umumnya berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai administrasi publik baru, sebuah grup theorist yang resistan terhadap apa yang mereka percaya merupakan klaim yang dibesar-besarkan terhadap validitas ilmiah dalam administrasi publik, bertemu di Minnowbrook Conference Center di Syracuse University di utara negara bagian New York. Mereka perhatian dengan apa yang mereka nilai sebagai penyalahgunaan data dan fakta untuk justifikasi kelanjutan perang di Vietnam, dan mereka percaya bahwa administrasi publik perilaku dan obyektif tidak relevan dengan penekanan isu publik seperti perang, kemiskinan, dan rasisme, juga tidak relevan dengan organisasi dan manajemen institusi publik. Dari Minnowbrook Conference dan banyak gathering selanjutnya muncul sejumlah konsep yang menantang ortodoksi saat itu. Diantara konsep dan asumsi yang muncul dari Minnowbrook dan administrasi publik baru yang sekarang merupakan ide-ide baru dalam administrasi publik postmodern adalah ini:
1. Administrator dan agensi publik tidak dan tidak bisa netral atau obyektif
2. Teknologi sering melakukan dehumanisasi
3. Hirarki birokratik sering tidak efektif sebagai strategi organisasi
4. Birokrasi cenderung menuju pemindahan tujuan dan kelangsungan hidup
5. Kerjasama, consensus, dan administrasi demokratik lebih mungkin daripada pelaksanaan sederhana otoritas administrasi untuk menghasilkan efektivitas organisasi
6. Konsep-konsep modern dari administrasi publik harus dibangun pada logika post-behavioral dan postpositivis – lebih demokratik, lebih adaptable, lebih responsif terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomis, dan politik (Marini, 1971)

Selama beberapa tahun setelah Minnobrook, beberapa dari partisipan yang berorientasi secara humanistic melanjutkan pertemuan, biasanya dalam forum tidak terstruktur yang berfungsi lebih mirip sebuah jaringan longgar daripada sebuah organisme. Pertemuan ini berkembang kedalam apa yang sekarang disebut Jaringan Teori Administrasi Publik atau PATnet, kelompok ahli yang memihak pada positivisme dan sekarang teori postmodern. Dua buku penting khususnya dalam evolusi ini, Struktur Revolusi Ilmiah (1970) dari Thomas S Kuhn dan Konstruksi Sosial Realitas (1967) dari Peter L Berger dan Thomas Luckman 1967. Dari Kuhn muncul keyakinan yang dipakai bersama diantara anggota PATnet dan postpositivist yang membangun sebuah paradigma administrasi publik baru secara keseluruhan yang diperlukan dan dibutuhkan. Dari Berger dan Luckmann datang keyakinan bahwa paradigma ini akan dibangun pada pondasi sosiologi postpositivist, dan secara khusus pada logika mengenai konstruksi sosial realitas. Banyak dari literatur dan teori yang sekarang ditemukan dalam Teori Administrasi dan Praksis, jurnal PATnet, mencerminkan perspektif teori ini terhadap administrasi publik. Perspektif ini diilustrasikan secara penuh oleh proporsi kunci dan klaim paradigmatic dalam Teori Aksi untuk Administrasi Publik dari Michael M. Harmon (1981):
1. Dalam administrasi publik, dilihat sebagai cabang ilmu sosial dan sebagai sebuah kategori praktek sosial, paradigma dirasakan sebagai teori nilai-nilai dan pengetahuan yang tujuannya adalah memperbaiki praktek administrasi dan mengintegrasikan jenis-jenis teori.
2. Keyakinan mengenai sifat manusia yang penting untuk perkembangan teori dalam administrasi publik dan cabang lain ilmu sosial. Untuk memberikan pondasi untuk pengembangan dan integrasi epistemology dengan teori deskriptif dan normative, keyakinan ini harus didasarkan secara ontologism daripada dipilih untuk alasan kemudahan.
3. Unit utama analisis adalah teori sosial harus menjadi situasi (atau pertemuan) tatap muka, yang lebih disukai daripada yang individual dan unit analisis yang lebih mencakup seperti grup, negara-bangsa, atau sistem.
4. Orang berdasarkan sifatnya aktif bukan pasif, dan sosial bukan atomistic. Ini berarti bahwa orang memiliki sebuah ukuran otonomi dalam menentukan tindakan mereka, yang pada saat yang sama dibatasi dalam sebuah konteks sosial. Konteks ini diperlukan tidak hanya untuk tujuan instrumental tetapi juga karena ini mendefinisikan status orang sebagai manusia.
5. Sifat “aktif-sosial” orang menunjukkan sebuah epistemology (misal, aturan dasar untuk menentukan validitas pengetahuan), yang fokus pada studi arti subyektif yang dilekatkan orang pada tindakan mereka sendiri dan tindakan orang lain.
6. Deskripsi dan penjelasan dalam ilmu sosial harus berkenaan dengan tindakan, sebuah konsep yang mengarahkan perhatian pada arti harian yang diberikan orang pada tindakan mereka.
7. Konsep tindakan memberikan dasar untuk menantang kecukupan teori ilmu sosial yang orientasi dasarnya adalah terhadap observasi dan analisis perilaku
8. Isu konseptual primer dalam perkembangan sebagai sebuah teori nilai untuk administrasi publik adalah hubungan substansi terhadap proses dan individu terhadap nilai kolektif
9. Nilai utama dalam perkembangan sebuah teori normative untuk administrasi publik adalah mutualitas, yang merupakan premis normatif yang didapatkan dari hubungan tatap muka diantara aktif-sosial sendiri.
10. Sebagaimana teori deskriptif mengenai kolektivitas yang lebih besar adalah derivative dari pertemuan ini, sehingga juga teori normative mengenai kolektivits ini didapatkan dari mutualitas, ekspresi normative pertemuan ini. Ide dari keadilan sosial adalah sebuah eksensi logika dari mutualitas yang diaplikasikan pada kolektivitas sosial dan harus dianggap sebagai premis normative yang mendasari keputusan kebijakan “agregat” yang dibuat dan diimplementasikan melalui administrasi publik. (Harmon 1981, 4-5)
Aplikasi postpositivisme terhadap administrasi publik diinformasikan oleh fenomenologi, argument filosofis dimana penyelidikan ilmiah terpercaya tidak bisa didasarkan pada observasi eksternal oleh peneliti luar. Tindakan orang dalam seting kolektif bisa dimengerti hanya dari sudut pandang actor itu sendiri (Denhardt, 1993). Pendekatan fenomenologis berusaha untuk menentukan bagaimana actor-aktor menginterpretasikan kondisi mereka, arti yang mereka berikan pada kondisi itu, dan pola interpretasi diantara actor-aktor dalam seting kolektif (Harmon dan Mayer 1986). Dalam perspektif ini, arti dan interpretasi arti ada di inti perilaku administrasi:
Dunia arti menjadi sentral untuk sebuah fenomenologist dan merepresentasikan terobosan kritis dengan teknik ilmu alam. Semua kesadaran adalah kesadaran sesuatu: kita mencari sesuatu, kami mengharap sesuatu, kami mengingat sesuatu. Setiap tindakan kesadaran, sebagaimana kami bercermin kepadanya, melimpahkan arti dunia kita dimana kita selanjutnya memberikan ketertiban. Kapasitas manusia untuk menahan tindakan dengan arti menentukan realitas yang dibahas oleh ilmuwan sosial, cukup terpisah dari realitas ilmuwan alam, dan metodologi ilmuwan alam tidak bisa dicopy oleh ilmuwan sosial. Namun, ilmuwan sosial berusaha mencari cara untuk mengerti struktur kesadaran, dunia arti dari actor sosial. (Denhardt 1993)
Penganut pendekatan fenomenologis terhadap riset dan teori dalam administrasi publik cenderung dikelompokkan kedalam camp teori interpretive, direpresentasikan oleh Michael Harmon, dan camp theorist kritis yang direpresentasikan oleh Robert Denhardt dan Ralph Hummel.
Teori interpretif atau tindakan pada saat itu, sebuah tantangan yang agak sederhana terhadap teori keputusan nasional saat itu (Harmon 1989). Sebagaimana kami gambarrkan dalam bab 7, dalam perspektif keputusan-teoritis, keputusan adalah point fokal dalam mengerti administrasi. Pemikiran mendahului keputusan, dan memutuskan mendahului tindakan. Logika keputusan-teoritis dibangun di atas sebuah asumsi rasionalitas instrumental sejauh ini mungkin untuk menghitung hubungan diantara sarana dan tujuan. Dalam aturan mereka, pembuat keptusan akan secara rasional mencari efisiensi dalam arah sasaran yang lebih disukai, ditentukan oleh beberapa ukuran tingkat dimana tujuan dicapai (Harmon dan Mayer 1986)
Meskipun dimodifikasi selama beberapa tahun dengan pengorbanan dan rasionalitas terbatas, teori keputusan, mengerti keputusan sebagai unit kunci analisis. Alternatif teori tindakan mengatakan bahwa hubungan terpola diantara berfikir, memutuskan, dan mengerjakan diasumsikan dalam teori keputusan jarang ditemukan. Lebih lanjut, dikotomi diantara fakta-fakta dan nilai dan dikotomi diantara sarana dan tujuan dibebaskan sejak lama (Lindblom 1965). Sebagai representasi akurat realitas, fakta, dan nilai, sarana dan tujuan jarang dipisahkan dengan mudah sebagaimana ditunjukkan teori.
Teori tindakan, teori interpretif alternatif terhadap teori keputusan, mengklaim bahwa:
1. Perbedaan epistemology diantara nilai dan fakta, berguna mungkin untuk tujuan-tujuan instrumental, mencerminkan rekonstruksi artificial proses dimana dunia sosial disusun, dipelihara dan diperdebatkan. Proses sosial ini dicirikan pada awalnya oleh fusi apa yang kita sebut ‘nilai’ dan ‘fakta’. Sehingga, perbedaan dasar diantara tindakan dan perspektif keputusan bisa dijelaskan oleh pendirian berbeda mereka mengenai prioritas perbedaan epistemologis.
2. Eksistensi yang mungkin dari kebaikan moral transcendent ada dalam prose ini dimana kehidupan sosial disusun bukan, minimal secara singkat, pada akhirnya diinformasikan oleh nilai-nilai. Tujuan, meliputi tujuan dan kepentingan, mungkin dilihat sebagai didapatkan dari dan tergantung pada proses-proses sosial. ‘Moral’, bukan sinonim dari nilai atau tujuan, tetapi menggambarkan kualitas yang ada dalam subyek yang bertindak yang terlibat dalam interaksi sosial.
3. Proses sosial pada intinya proses pengertian kolektif dimana fakta-fakta sosial dihasilkan dengan negosiasi. Dengan perluasan, organisasi adalah konteks yang disusun secara singkat dan hanya susunan pembuatan keputusan sekunder.
4. Bukan berfikir tindakan sebelumnya (dihubungkan oleh keputusan), berfikir dan tindakan konstitutif dan koekstensif. Keputusan tidak riil secara obyektif tetapi merupakan obyektifikasi dari aliran proses sosial yang berjalan. Secara informal, keputusan dibuat sebagai sebuah “proses yang terhenti”

Dalam perpsektif teoritik tindakan, tujuan organisasi dan nilai organisasi hanya bisa muncul dari proses sosial didasarkan pola interaktif tindakan dan nilai-nilai yang melekat padanya. Harmon menunjukkan bahwa “kebaikan tidak ada dalam tujuan yang sudah ditentukan sebagai diberi informasi oleh pemikiran abstrak mengenai nilai-nilai moral. Namun, ini adalah sebuah fungsi alam dan kualitas hubungan sosial dimana tujuan berubah”. Kebaikan, dan tingkat dimana kebaikan ini secara organisasi dilanjutkan, adalah sebuah proses interpretasi sadar mengenai masa lalu mereka yang dalam organisasi. Ini juga merupakan proses dimana peneliti berusaha mengerti perilaku administrasi dan menginterpretasikan tindakan dan artinya.
Sebagai sebuah tindakan terpisah dan khusus terhadap konsep teori administrasi publik, teori interpretif/tindakan memiliki traksi terbatas. Ide-ide dan konsep dimana teori tindakan interpretative didasarkan, menjadi sentral terhadap apa yang pada akhirnya menjadi teori administrasi publik post modern.
Juga ada pada pondasi fenomenologi, teori kritis dalam tradisi post positivist secara khusus dipengaruhi oleh Jurgen Habermas (1970, 1971) dan perbedaan diantara alasan instrumental, interpretative, dan kritis. Teori sosial modern, menurut Habermas, “diisi dengan alasan instrumental, yang membawa pada penggunaan teknik yang tidak reflektif dalam kontrol hubungan sosial” (Harmon dan Mayer, 1986). Penalaran kritis berusaha untuk “membebaskan” ini dalam seting kolektif dari hubungan kekuasaan asimetrik terutama melalui diskursus autentik. Dalam masa kita, gagasan emansipasi wanita dijelaskan sebagai pemberdayaan pekerja. Ini melalui diskursus autentik dimana klaim kebenaran bisa diuji dan diperbaiki dalam pencarian akan kebenaran ‘hermeneutika’ (studi hubungan diantara alasan, bahasa, dan pengetahuan). Aplikasi Robert Denhart untuk teori kritis menyatakan bahwa:
Sebuah teori kritis dari organisasi publik akan menguji basis teknis dari dominasi birokratik dan justifikasi ideologis untuk kondisi ini, dan akan bertanya dalam cara dimana anggota dan klien birokrasi publik akan lebih bisa mengerti batasan hasil yang diberikan pada tindakan mereka dan selanjutnya mengembangkan mode baru praksis administrasi.
Berlawanan dengan penekanan pada orde dan regulasi dimana kita mendapatkan literatur mainstream dalam administrasi publik, sebuah pendekatan kritis akan menekankan kondisi kekuasaan dan dependensi yang mencirikan kehidupan organisasi kontemporer untuk konflik dan kekacauan yang diramalkan oleh kondisi ini. Pendekatan ini akan memungkinkan kita untuk memikirkan isu-isu perubahan organisasi dalam pengertian dialektika, sebagai sebuah konsekwensi kekuatan-kekuatan yang berkompetisi yang beroperasi dalam konteks linguistic, dan akan mengijinkan pengertian yang lebih dinamis mengenai kehidupan organisasi. Lebih lanjut, pendekatan ini akan menunjukkan kontradiksi yang melekat dalam organisasi hirarkis. Dengan menentukan cara dimana hubungan kekuasaan dan dependensi menghasilkan pengasingan dan kerenggangan, teori kritis organisasi publik menunjukkan usaha-usaha yang lebih langsung untuk memperbaiki kualitas hidup organisasi. (Denhart 1993)
Pendekatan Ralp Humel terhadap teori kritis sedikit lebih luas dan lebih tegas. “Generasi pendatang baru”, dia menulis
Telah mengikuti saran ini: berfikir secara kritis mengenai pekerjaan. Sekarang kita bisa mempertanyakan struktur. Apakah komando top down benar-benar diperlukan? Apakah ini efektif? Bisakah hirarki didatarkan? Bisakah pembagian buruh dimudahkan?
Kita bisa mempertanyakan kultur. Apakah efisiensi dan kontrol hanya nilai-nilai dijalankan oleh birokrasi, publik dan privat? Bagaimana dengan tujuan manusia lebih dari ini?
Kita bisa mempertanyakan psikologi. Apakah kita perlu menerima destruksi diri kita sendiri ketika kita masuk kerja?
Kita bisa mempertanyakan devaluasi birokrasi pidato. Jelas komando top down berteriak pada kita dengan atmosfer ketakutan bukan satu-satnya tool untuk membuat kita bekerja.
Akhirnya, ada pertanyaan politik. Untuk sementara ini nampak tidak ada alternatif pada transformasi birokratik politik. Efisiensi dan kontrol telah menjadi standard untuk mengukur sukses di sana. Kerugian penting untuk imajinasi politik.
Apa yang berhubungan dengan pendekatan interpretative dan kritis pada administrasi publik post positivis telah cenderung menjadi bagian dari sebuah pergerakan training developmental. Secara sederhana, melalui training develmental individu dan organisasi bisa mencapai potensi mereka. Training, sekarang disebut pembelajaran organisasi atau organisasi pembelajar, memungkinkan organisasi dan individu di dalamnya untuk lebih percaya, mendentar, dan mempraktekkan komunikasi otentik (Argyris, 1962; Argyris dan Schon 1978; Golembiewski 1972). Tujuan dari jenis intervensi organisasi ini adalah untuk mencairkan kekakuan birokratik dan memberdayakan pekerja untuk mencapai potensi mereka. Intervensi organisasi jenis ini dianggap sebagai pendidik, peneliti, dan agen perubahan dalam satu waktu (Denhardt, 1993). Meski ini memiliki naik turun sejalan dengan waktu, intervensionist biasanya konsultan, dan mencari potensi manusia melalui training dan intervensi yang memberi jalan menuju praktek terbaik, benchmarking, dan mixed scorecard, dan cara yang lain yang lebih modern dalam pengembangan organisasi kontemporer.
Klaim paradigmatic dari postpositivisme paling jelas ketika mengaplikasikan logika mereka pada teori-teori organisasi dan manajemen. Sebagaimana sering terjadi dengan argument paradigmatic, mereka adalah metafora ketika mereka adalah model atau paradigma dan ini khusus dalam mempresentasikan p paradigma post modern organisasi dan manajemen. Lebih lanjut, mereka yang membuat argument paradigmatic menyesuaikan dengan mode, melebihi-lebihkan, dan membuat orang-orangan diluar satu paradigma untuk membuat lebih banyak kesan paradigma pengimbang yang mereka dukung. Kritik post positivist mengenai karakteristik dan praktek organisasi klasik dan manajemen mencirikan mereka sebagai lebih hirarkis, determinate, dan sederhana daripada mereka sesungguhnya. Perbandingan paradigmatic David Clark berguna karena tidak hanya membandingkan (meskipun stilis) konsep tetapi juga mengevaluasi apa yang dianggap sebagai sukses paradigma postpositivist. Yang penting adalah kesimpulan umumnya bahwa paradima organisasi klasik dan logika ilmiah dari obyektif positivis yang mendukungnya memiliki kekuatan tinggal yang jelas.
Penilaian Clark mengenai status dari paradigma positivis, meski sedikit usang, masih akurat. Untuk tujuan teori ini berguna, meskipun simplistic, untuk mengandung sejumlah variabel yang dipertimbangkan dalam evaluasi institusi publik. Parsimony dan elegansi dari sebuah teori penjelas bisa kuat dan berguna. Teori-teori yang berusaha untuk menjelaskan segala sesuatu dan mencatat pengaruh yang mungkin dari semua variabel memiliki keuntungan yang disebut deskripsi berlebihan yang ditemukan dalam studi kasus yang lebih besar. Tetapi mereka memiliki kekurangan juga: mereka tidak bisa dengan meyakinkan memperhitungkan keduanya atau ketiga kekuatan yang paling kuat yang mempengaruhi organisasi atau sebuah kebijakan, atau tidak bisa secara meyakinkan mengeliminasi kemungkinan menarik yang tidak mencela. Cakupan kompleksitas dalam argument post positivist berhubungan erat dengan segi lain argument in – khususnya dalam indeterminansi, kausalitas mutual, dan morfogenesis. Kesemua segi pemikiran post positivist ini secara negatif mengevaluasi tendensi institusi publik untuk stabil, bisa diprediksi, teratur, dan terpercaya. Order determinate dari birokrasi dan tendensinya untuk menolak segala perubahan, khususnya perubahan yang ditentukan secara eksternal akan ditentukan secara eksternal oleh agen perubahan, atau secara internal dicapai oleh pekerja yang diberdayakan, adalah sebuah momok lama bagi postpositivis untuk membuat institusi publik menjadi lebih baik. Pada saat yang sama, pengertian kami mengenai pola aktual perubahan organisasi ditingkatkan oleh penggunaan logika perubahan post positivis sebagai kelak-kelok yang diskontinyu yang jauh kurang rasional daripada yang diprediksi teori positivist (March dan Olsen 1989). Pola perubahan organisasi jelas tidak linear, tetapi karakterisasi postitivist dari teori institusional klasik sebagaimana menggambarkan proses perubahan linear tidak akurat untuk mulai. Akhirnya, hirarki, sebuah persoalan organisasi fundamental dari perspektif postpositivis, memiliki kekuatan tinggal. Hirarki ada, kita telah pelajari, karena organisasi hirarkis memberikan orde, stabilitas, yang sangat berharga dan prediktabilitas tidak hanya untuk mereka yang mengharapkan layanan dari institusi publik tetapi juga untuk mereka yang bekerja di dalamnya (Jaques, 1990). Disamping semua alternatif yang diajukan untuk hirarki, dan disamping ‘patologi’ hirarki, kita tidak bisa menemukan sebuah cara yang sama terpercaya-nya untuk membagi pekerjaan, mengkoordinasikan pekerjaan, dan memperbaiki tanggung jawab untuknya.
Diantara sebagian besar penganutnya, post positivisme tidak idanggap sebagai antipositivist utama. Diantara postpositivist dan humanist organisasi, ada tantangan teori terhadap epistemology sains sosial, dan memberikan tantangan untuk merubah birokrasi publik yang resistan. Sebagian besar post positivist pada umumnya menerima empirisme dan logika akumulasi pengetahuan. Post positivist, ini bisa dikatakan, menunjukkan satu jenis pesimisme post enlightenment karena ilmu tidak memberikan apa yang dijanjikan. Gagasan postitivist bahwa dunia sosial adalah teratur, dimana keteraturan ini bisa dimengerti, dijelaskan, dan digambarkan, dan pengetahuan yang terakumulasi yang dicapai bisa membentuk basis teori, dalam pandangan sebagian besar post positivist, adalah salah. Salah satu dari dua treatment penting dari administrasi publik post modernist memberikan berikut ini:
Kami mendorong pergerakan menjauh dari ide bahwa ada sebuah realitas ‘di luar sana’ dimana riset bebas nilai bisa diperhitungkan dengan memformulaslikan generalisasi seperti nilai yang kejujurannya bisa diamati, bisa diuji, dan kumulatif. Kami menolak gagasan bahwa pertanyaan ‘apakah itu’ bisa dibahas dengan baik hanya oleh pengamat obyektif, sebagaimana penekanan pada ilmu alam jelaskan. Hanya bertanya satu pertanyaan bukan beberapa pertanyaan menghianati ukuran subyektivitas. Jika ketidaktertarikan dibutuhkan, tidak akan ada penyelidikan. Kami mengakui bahwa proyek positivist dan metodologinya memiliki validitas, tetapi ketergantungan eksklusif padanya menghambat banyak fenomena yang ada untuk persepsi manusia. (Fox dan Miller 1995)
Meskipun pesimistik mengenai ilmu sosial obyektif, sebagian besar post positivist tidak, secara umum digambarkan sebagai anti negara atau anti pemerintahan. Ini akan berubah dengan ditanya post modernisme.

Postmodern
Perspektif dalam administrasi publik
Untuk berusaha mengerti administrasi publik post modern, orang harus mulai dengan karakterisasi post modern mengenai modernitas atau modernitas tinggi. Modernitas adalah penolakan pencerahan premodernitas, atau mitos, misteri, dan kekuatan tradisional didasdarkan pada hereditas atau ordinasi. Era alasan menolak sebuah orde natural yang menunjukkan banyak dalam nama royalitas atau kedewaan, dan menggantikan orde alam dengan sistem determinasi diri demokratik, kapitalisme, sosialisme, dan marksisme. Yang sama pentingnya, era alasan menolak pengetahuan didasarkan pada ketahayulan atau ramalan dan menggantinya dengan pengetahuan berdasarkan sains. Semua disiplin akademik modern dan bidang sains berakar dalam pencerahan dan dalam sebuah epistemology didasarkan pada observasi obyektif dari fenomena dan deskripsi, secara kualitatif atau kuantitatif, dari fenomena. Epistemology modernist mengasumsikan pola orde yang bisa dicerna dalam dunia fisik dan sosial, dan dalam dunia sosial ini mengasumsikan sebuah assosiasi positivist dan rasional diantara sarana dan tujuan. Modernisme adalah pencapaian pengetahuan melalui penalaran dan pengetahuan sehingga didapatkan diasiumsikan faktual dan benar.
Untuk postmodernist, administrasi publik modern didasarkan pada logika pencerahan adalah menuju ke arah yang salah. Pertama, fakta-fakta tidak bisa bicara atau menulis dan tidak bisa bicara untuk diri sendiri (Farmer 1995). Fakta-fakta mencerminkan proposisi atau hipotesis yang didapatkan dari observasi. Dalam memberitahukan fakta-fakta, sehingga, pengamat tidak hanya merupakan pembentuk aktif pesan yang dikirim tetapi juga pembentuk aktif dari image yang diterima. Dalam tempat kedua, ‘pandangan bahwa sains sosial adalah persoalan akresi kumulatif pengetahuan melalui usaha subyek manusia secara netral mengamati tindakan dan interaksi obyek – membiarkan fakta bicara sendiri adalah tidak dapat dipertahankan. Ini sulit untuk berpegang teguh pada pandangan bahwa pikiran adalah beberapa jenis penerima posesif di luar aktivitas seperti kesan atau ide-ide (Farmer, 1995). Karena pengamat fakta adalah pencerita fakta-fakta, untuk postmodernist, bahasa dari cerita ini penting. Konstruksi realitas sosial didasarkan pada bahasa, dan bahasa ada di inti argument post modern. Sehingga, administrasi publik post modern adalah mengenai semantic dan, sebagaimana dikatakan post modernist, text. “Hermeneutika (studi hubungan diantara alasan, bahasa dan pengetahuan) perhatian dengan teks, ini diperhatikan dengan interpretasi, dengan penentuan signifikansi, dengan pencapaian inteligibilitas. Teks, dalam kasus ini, bisa merupakan teks tulis atau teks dalam bentuk praktek sosial, institusi, susunan lain atau aktivitas lain”. (Farmer 1995). Ketika kita belajar atau mentekstualisasikan subyek kami, kami terlibat dalam sebuah pola interpretasi reflektif, sebuah proses deskripsi, secara kualitatif atau kuantitatif, yang menginterpretasikan realitas dalam bentuk reflek atau respon diantara subyek dan orang yang menggambarkan subyek ini. Sehingga, dikatakan bahwa teori administrasi publik, adalah dalam faktanya, bahasa administrasi (Farmer). Paradigma bahasa reflektif adalah Farmer mengikuti “sebuah proses dialog yang lucu dan disesuaikan dengan konten yang mendasari dari dialog birokrasi publik… sebuah seni yang berusaha menggambarkan dan menggunakan konsekwensi karakter hermeneutiika, reflektif dan linguistic dari cara dimana kita harus mengerti dan menciptakan fenomena administrasi publik”
Postmodernist menggambarkan kehidupan modern sebagai hiperrealitas sebuah pengaburan riil dan yang tidak riil. Postmodernist seperti Baudrillard mengklaim bahwa sebuah perubahan dasar dengan era modern telah terjadi baru-baru ini. Media massa, sistem informasi dan teknologi adalah bentuk kontrol baru yang merubah politik dan kehidupan. Batas diantara informasi dan hiburan adalah jatuh, sebagaimana batasan diantara image dan politik. Sehingga, masyarakat itu sendiri runtuh. Postmodernitas adalah proses perusakan arti. Ideal kebenaran, rasionalitas, kepastian, dan koherensi adalah selesai karena, untuk Baudrillard, sejarah telah berakhir. Psotmodernitas adakah karakteristik dari “sebuah jagad dimana tidak ada definisi lagi yang mungkin …. Ini semua telah dilakukan. Batasan ekstrim dari kemungkinan ini telah dicapai …. Semua yang tinggal adalah bermain dengan bagian-bagian. Bermain dengan bagian-bagian – yakni postmodernisme” (Baudrillard, dikutip dalam Farmer, 1995). Untuk postmodernist, Disneyland bukan kurang atau lebih riil daripada Los Angeles dan pinggiran yang mengitarinya. Semua hiperiil dan simulasi (Baudrillard 1984)
Modernitas juga dicirikan dalam postmodernitas sebagai otoritarian dan tidak adil. Banyak bahasa postmodern berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, meliputi kekuasaan birokratik. Subyek kunci dalam leksikon postmodern adalah kolonialisme, meliputi kolonialisme korporat, ketidakadilan sosial, ketidakadilan gender, dan distribusi kekayaan diantara dunia maju dan dunia ketiga. Ironi, tentu, bahwa pencerahan membawa apa yang sekarang digambarkan sebagai pemerintahan demokratik dan, dalam negara-negara yang mempraktekkan, apa yang sekarang dianggap sebagai level tertinggi kebebasan manusia, pemerintahan mandiri, dan kesejahteraan dalam sejarah. Namun, postmodernist tidak salah berkenaan dengan kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidakmerataan.
Akhirnya, modernitas, dalam perspektif postmodern, terutama berkenaan dengan pengetahuan obyektif dan perkembangannya. Postmodernitas lebih perhatian dengan niali-nilai dan pencarian kebenaran daripada dalam karakterisasi pengetahuan.
Petani menggambarkan modernitas sebagai ekspresi batasan kekhususn, scientisme, teknologisme, dan enterprise.
Partikularisme
‘Partikularisme nasional dari administrasi publik Amerika tidak memiliki kekurangan yang menonjol dalam arti kebalikan dan blind spot. Sebuah kebalikan dicatat sebelumnya diantara partikularisme dan universalisme. Dorongan untuk yang kurang terbatas dan fokus pada yang lebih terbatas juga berlawanan. Sejauh ini adalah interpretasionist, administrasi publik memiliki kepentingan dalam interpretasi yang sesedikit mungkin dibatasi. Kepentingan dalam intercultural adalah sebuah pandangan yang memberikan fasilitasi. Tanpa kepentingan intercultural, misalkan, pertanyaan yang memberikan pandangan bisa diabaikan” (Farmer 1995). Yang pasti, administrasi modern sebagian besar merupakan produksi Amerika abad dua puluh, lengkap dengan banyak keunggulan kultural. Tetapi specialist dalam administrasi komparatif telah lama mengerti ini, sebagai bacaan regular dari yang ditunjukkan oleh jurnal Administrasi dan Masyarakat. Komparitist telah lama menentang eksportabilitas administrasi publik Amerika. Banyak dorongan dibalik apa yang disebut new public management, atau managerialisme baru, berasal dari negara-negara eropa barat, Australia, dan Selandia Baru (Considine dan Painter 1997; Kernaghan, Marson, dan Borins, 2000). Administrasi publik modern kurang dari sebuah ekspresi partikularisme Amerika; sehingga, dua jurnal penting dalam bidang ini, Governance dan Review Manajemen Publik adalah Eropa.
Partikularisme juga berkaitan dengan penekanan pada pemerintah dalam administrasi publik. Fredericson mengatakan untuk sebuah konsepsi yang membedakan publik dari pemerintah: “Publik hidup secara independen dari pemerintah, dan pemerintah hanya satu dari manifestasinya”. Istilah “publik” memiliki arti sempit dalam masa kita dimana “kita berfikir publik sebagai berhubungan dengan pemerintah dan berkaitan dengan voting dan perilaku pejabat”. Sebuah teori yang cukup dari publik, menurut Frederickson, harus didasarkan pada konstitusi, pada gagasan peningkatan kewarganegaraan, dan pada sistem yang memberikan respon pada kepentingan “publik kolektif dan publik tahap permulaan dan pada kebajikan dan cinta” (Frederickson 1991)
Akhirnya, partikularisme, dalam postmodernitas, dipenuhi dengan efisiensi, kepemimpinan, manajemen, dan organisasi. Penekakan saat ini pada ukuran kinerja adalah ilustrasi dari sifat administrasi publik modernist fungsional adalah ilustrasi dari sifat fungsional dari administrasi publik modernist (Forsythe 2001). Yang secara khusus menarik adalah ukuran kinerja jarang bertanya pertanyaan fairness, kinerja untuk siapa? Postmodernist akan menegaskan pertanyaan tersebut

Scientisme
Dimanapun jelas bahwa sains berkaitan dengan pengembangan teori administrasi publik kontemporer. Selama beberapa tahun perspektif ilmiah dalam administrasi publik telah berkembang dari
1. Paper mengenai Ilmu Administrasi dari Gulick dan Urwick 1937
2. sampai Perilaku Administrasi pada tahun 1947 dari Simon
3. sampai pengembangan Ilmu Administrasi Per Kuartal, masih merupakan jurnal yang paling prestisius dalam administrasi bisnis atau publik.
4. sampai penggunaan judul “Sains Muddling Through” menusuk sedikit kesenangan dalam ilmu
5. sampai perspektif ilmiah modern pada bidang ini yang direpresentasikan oleh perspektif pemodelan pilihan rasional yang digambarkan dalam bab 8
6. sampai perspektif teoritik keputusan yang digambarkan dalam bab 7

Dalam usaha ini, kata sains digunakan dalam cara-cara berbeda. Ilmu Artifisial (1969) membentuk sebagian dari dasdar dari apa yang sekarang digambarkan sebagai intelegensi artificial, meskipun ada, tentu, perdebatan atas intelegensi dari intelegensi artificial. Namun, sistem modern komunikasi, manufaktur robotic, perjalanan udara kontemporer, dan banyak bentuk praktek medical modern, dibangun didasarkan pada logika intelegensi artificial.
Sains juga digunakan secara lebih kasual dalam administrasi publik, sebagai sebuah kata untuk memberikan penting pada sebuah ide atau untuk meng-cover sebuah hipotesis atau perspektif dengan apa yang diasumsikan sebagai kualitas sains. Fakta sederhana dimana sains digunakan dalam administrsi publik dalam cara yang menunjukkan berapa penting sains untuk semua disiplin modern dan bidang akademik. Dalam perspektif postmodernist, ide-ide ilmiah atau positivis “adalah istimewa dalam arti bahwa, jika didapatkan menurut prosedur ilmiah, mereka dianggap memberikan jaminan kebenaran yang leblih besar” (Farmer 1995). Pengertian orang pertama subyektif mengenai fenomena administrasi tidak istimewa, atau bukan aplikasi intuisi, penilaian nilai, atau imajinasi untuk administrasi publik.
Untuk postmodernist, perspektif ilmiah biasanya stilis, yang berarti sederhana dan dibesar-besarkan untuk penekanan. Misalkan, Farmer mencatat “Sepuluh Perintah Aturan Emas modernisme dalam ekonomi dan sains lain” (Farmer, 1995; McCluskey 1985)
Mereka adalah sebagai berikut
1. Prediksi dan kontrol adalah point sains
2. Hanya implikasi yang bisa diterima (atau prediksi) dari sebuah bahan teori terhadap kebenarannya
3. Observabilitsa meliputi eksperimen obyektif, bisa direproduksi, hanya kuisioner. Interograsi subyek manusia tidak memiliki kegunaan, karena manusia mungkin bohong.
4. Jika dan hanya jika, sebuah implikasi eksperimental terbukti salah teori ini terbukti salah
5. Obyektivitas dihargai; ‘observasi’ subyektif (introspeksi) bukan pengetahuan ilmiah karena obyektif dan subyektif tidak bisa dihubungkan
6. Dictum Kelvin: ‘ketika anda tidak bisa menyatakan ini dalam angka, pengetahuan anda adalah kecil dan tidak memuskan
7. Introspeksi, keyakinan metafisik, estetika, dan yang lainnya mungkin merupakan gambaran yang baik dalam penemuan sebuah hipotesis tetapi tidak bisa menggambarkan dalam jurisdiksinya, justifikasi adalah abadi, dan komunitas sekitar sains tidak relevan dengan kebenaran mereka
8. Ini adalah urusan metodologi untuk memisahkan penalaran ilmiah dari yang non ilmiah, positif dari normative
9. Sebuah penjelasan ilmiah dari sebuah event membawa event di bawah hukum yang mencakup
10. Ilmuwan – misalkan, ilmuwan ekonomi – harus tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan sebagai ilmuwan mengenai keharuran nilai, apakah moralitas atau seni

Karakterisasi sains, disamping kualitas orang-orangan, memiliki aplikasi terbatas pada administrasi publik terutama karena bidang ini tidak pernah menerima secara penuh scientisme sebagai yang pertama. Secara virtual semua aspek aplikasi sains pada administrsi publik dieprdebatkan selama lima puluh tahun yang lalu oleh dua raksasi bidang ini pada saat itu, Dwight Waldo dan Herbert Simon. Perdebatan ini penting sekarang dan juga untuk masa datang. Karena perdebatan ini adalah sentral untuk teori keputusan, sebuah ringkasan ditemukan dalam bab 7.
Saat ini, administrasi publik adalah sains dan seni, fakta dan nilai, Hamilton dan Jefferson, politik dan administrasi, Simon dan Waldo. Beberapa menyebut grand teori dan teori yang luas “yang akan membawa bidang ini bersama-sama”. Untuk selera kita, administrasi publik ini bersama dengan semua kompleksitasnya, sebuah kompleksitas yang kaya dan selamanya diberikan oleh Herbert Simon dan Dwight Waldo. Meskipun sebuah karakterisasi sederhana. Usaha awal Simon bisa digambarkan sebagai administrasi yang sangat modern. Karena usaha Walso selalu mempertanyakan primasi ilmu sosial rasional obyektif, Waldo mungkin dianggap sebagai postmodernist administrasi publik pertama, meskipun dia menolak kategorisasi ini.

Teknologisme
Administrasi publik berhubungan dengan cara mengorganisasikan dan cara mengelola. Didefinisikan dalam arti yang terluas, ini adalah teknkologi dari administrasi publik. Banyak organisasi dan manajemen publik memiliki teknologi rendah, untuk pasti, tetapi ini sering merupakan manajemen dan organisasi dari institusi teknologi tinggi (Farmer 1995). Operasi sistem reliabilitas tinggi seperti kontrol trafik udara, misalkan, menggabungkan teknologi tinggi dan teknologi rendah dalam apa yang dijelaskan Farmer pengikut Burge, sebagai sosio teknologi. Sebuah contoh bagus yang baru mengenai organisasi publik yang didukung secara empiris dan teori manajemen yang akan digambarkan sebagai sosio teknologi oleh Rainey dan Steinbauer dalam tesis “Galloping Elephant” (1999). Riset terbaik kami mengenai organisasi dan manajemen institusi kompleks yang besar menunjukkan bahwa, menggunakan prinsip-prinsip tradisional administrasi publik, institusi ini “galloping elephant” secara mengejutkan efektif dan lincah. Dengan kata lain, administrasi publik teknologi rendah didirikan di atas pengertian umum teori modern dalam semua usaha bekerja baik dalam prakteknya. Dukungan empiris kurang dalam klaim postmodern dimana administrasi publik dibangun di atas sebuah epistemology ilmiah modernist tidak bekerja dengan baik.
Semua sistem sosial modern cenderung ingin mendapatkan jawaban teknologis untuk pertanyaan – pertanyaan sosial, ekonomi dan politik. Sebuah argument kontemporer umum, misalkan, adalah bahwa Internet harusnya meningkatkan partisipasi masyarakat dan politik warga. Postmodernist menunjukkan bahwa pencarian jawaban teknologi pada pertanyaan sosial, ekonomi dan politik cenderung kabur. Postmodernist, seperti pengamat sosial secara umum, khawatir mengenai aspek dehumanisasi fungsi birokratik teknologi rendah dan sistem teknologi tinggi, dan mereka memiliki bukti untuk mendukung kegelisahan mereka. Perhatikan sebagai ilustrasi proyek penyakit kelamin Tuskegee di AS atau holocaust di Jerman Nazi. Postmodernist benar dalam penegasan mereka bahwa teknologi bisa mengaburkan garis moral dan etika. Bisa tidak ada contoh modern yang lebih baik daripada perdebatan saat ini atas penyalahgunaan yang mungkin dari pengetahuan kita mengenai genom manusia.
Jika ini bagus, sebagai sebuah bidang, ada rangkaian literatur panjang mengenai persoalan etika dan moralitas publik. Karena teknologi baru mungkin mendorong administrator publik untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah berarti bahwa administrasi publik harus melakukannya. Administrasi publik, ketika dibandingkan dengan aplikasi lain, bidang interdisipliner, seperti perencanaan, pekerjaan sosial, administrasi bisnis, atau hukum, selalu membuat penekanan yang kuat pada nilai dan etika.

Enterprise
Sedikit hal lebih bisa diprediksi daripada reformasi pemerintah standard yang membutuhkan bagian publik seperti bisnis (Light 1999). Dan tidak ada orang yang mengerti ini lebih dari Luther Gulick, yang telah melihat hampir setiap reformasi abad dua puluh, menulis ini
“Seperti bisnis” adalah metaphora selanjutnya yang didesain untuk membawa kedalam kewajaran. Jagad bisnis dalam point ini didesain untuk membangkitkan profit dan kekuasaan untuk pemilik dan top manajer enterprise bisnis dengan dasar jangkauan waktu yang sangat pendek. Karena negara bangsa bertujuan pada sebuah jangkauan abad dan berusaha tidak untuk profit ekonomi pemilik modal tetapi untuk kehidupan, kebebasan, dan kebahagiaan seluruh rakyatnya, dorongan fundamental harusnya tidak ‘seperti bisnis’ tetapi membuat bisnis lebih ‘seperti pemerintah’. Ini diinginkan untuk menjadi efisien dalam pengertian bisnis tetapi tidak untuk mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Selama beberapa tahun, retorika telah berubah. Inisiatif pemerintah reinventing 1990 pada semua level pemerintah, meminta administrator publik menjadi entrepreneur dan melalui birokrasi dengan memandu sektor publik dalam arah menjadi lebih berorientasi pelanggan, dan sebuah ide diambil dari textbook enterprise (Osborne dan Gaebler 1992). Reinventor akan juga memperbaiki administrasi publik dengan aplikasi konsep pasar seperti kompetensi agensi, earning melalui fee khusus bukan perpajakan umum, dan privatisasi pelayanan publik. Inisiatif untuk mengaplikasikan logika enterprise ke administrasi publik tidak tertentang (Kettle 1988, Goodsell 1983). Sehingga, dari awal bidang ini ada sebuah literatur yang konsisten menunjukkan perbedaan diantara pemerintah dan enterprise dan mempertanyakan aplikasi prinsip-prinsip bisnis ke administrasi publik (Martin, 1965; Marx, 1946). Jelas, perhatian postmodernist mengenai aplikasi konsep bisnis untuk sektor publik, dan khususnya asumsi bahwa motivasi pejabat publik bisa dimengerti sebagai kepentingan diri rasional, dijamin; ada, sebuah kritik ekstensif dari ide-ide ini dalam halaman Review Administrasi Publik dan jurnal penting yang lain. Penekanan yang baru pada deregulasi bisnis dan pada privatisasi juga dikritik (Frederickson 1999a). Kritik administrasi publik berkenaan dengan aplikasi ide-ide bisnis terhadap efek tersebut bahwa konsep bisnis jarang membawa hari itu dalam sektor publik. Tetapi ada kekuatan politik dan ekonomi yang kuat yang pada umumnya mendukung aplikasi konsep bisnis untuk manajemen publik.
Jalan masuk terbesar dalam aplikasi enterprise ke sektor bisnis berasal dari teori pilihan rasional, sebuah subyek yang dipertimbangkan dan dikritik dalam bab 8
Untuk meringkas: dari perspektif postmodern, kritisme administrasi publik meliputi (1) ketergantunganberlebihan pada logika dan epistemology sains sosial rasional obyektif (2) dukungan implisit yang diberikan pada regim otoriter, tidak adil, (3) biasnya terhadap partikularisme Amerika (4) ikatan terlalu besar pada manajemen fungsional dan teknologi organisasi dan (5)keinginan untuk dipengaruhi oleh logika kapitalis tenterprise. Setelah mereview kritik administrasi publik modernis, kita sekarang menuju pertanyaan: apakah, setelah semuanya, administrsi publik post modern itu.



Mencari teori administrasi publik postmodern
Alasan utama sulit untuk mengajak berpikir sebuah deskripsi teori administrasi publik postmodern atau sebuah definisi yang bisa digunakan dari perspektif postmodern: orang tidak bisa, diklaim, mengerti, menilai, atau mengevaluasi administrasi publik postmodern dengan menggunakan kriteria atau standard modernist (Farmer, 1995). Ketika kita terlibat dengan asumsi modernitas dan melihat mereka sebagai merupakan ‘pengertian umum’, kita gagal untuk mengerti dan menjustifikasi klaim post modernitas dalam arti modernitas (Farmer 1995)
Administrasi publik postmodern harus dimengerti sebagai menegasikan mindset ekonomi modernitas, sebagai menegasikan asumsi bahwa kita memberikan pemikiran penting selama lima abad terakhir. Postmodernitas harus diinterpretasikan sebagai menyangkal pola ide kunci. Weltanshauung (sebuah pandangan dunia atau filosofi yang diterima secara umum dari kehidupan) yang menyusun modernitas, penyangkalan ini meliputi penyangkalan proses memiliki sebuah Weltanschauung. Ini menyangkal bahwa tugas utamanya adalah menggambarkan dunia, menyangkal nilai mendasarkan pengetahuan subyek dunia dalam subyek ini. Ini menyangkal pandangan alam dan alasan peran yang implisit dalam pandangan modernitas mengenai subyek terpusat. Ini akan menyangkal makro teori, naratif besar, dan makropolitik. Ini menyangkal perbedaan diantara realitas dan tampilan. Penyangkalan modernitas dari postmodern, sebagaimana ditunjukan, adalah penyangkalan khusus. Ini tidak akan mengijinkan penyangkalna modernitas dalam arti sebuah pengembalian ke premodernitas. Menurut postmodernist, kita tidak bisa kembali ke tuhan lama, ke masyarakat lama dimana ini tertanam dalam peran sosial dan sebuah konteks nilai.
Formulasi ini adalah negativitas. Modernitas bisa menghasilkan sejumlah set proposisi yang mengungang pemerikasaan dalam arti hukum logika. Postmodernitas tidak cocok dalam cetakan ini… bagian dari kesulitan dalam pemahaman bisa dimengerti jika kita membahas apa artinya untuk modernitas untuk menjadi nonsense yang tidak koheren. Untuk menjadi inkoheren dan nonsensical, sebuah pandangan postmodern (atau pandangan yang lain) akan gagal untuk memenuhi sejumlah kriteria koherensi dan sense, ini akan masuk di luar batas sense dan koherensi. Pengertian ini gagal merasakan dan diantara koherensi dan inkoherensi. Ini gagal jika postmodernisme dikenal terus menyangkal bahwa ini berarti nonsense ada, ada hanya satu campur baur diantara sense dan non sense. Namun, dari perspektif modernist, penjelasan ini tidak menarik (Farmer 1995)
Dalam logika postmodernist, negativitas, kebalikan, atau problematic yang mengkritik logika modernist sering memiliki kualitas baik untuk mereka sebagaimana ditunjukkan list berikut
Tabel 6.2

Banyak kesamaan diantara karakterisasi perbedaan diantara modernisme dan postmodernisme dan deskripsi David Clark mengenai perbedaan diantara paradigma organisasional klasik dan positivis yang digambarkan sebelumnya dalam bab ini perlu diperhatikan. Pertanyaanya adalah, seperti apakah yang teori administrasi publik bangun pada antiform, permainan, kesemnatan, anarki dan seterusnya? Postmodernist hardcore akan menjawab pertanyaan ini dengan sebuah okmentar seperti: “anda tidak bisa menggambarkan atau mengerti dunia postmodern dengan menjawab sebuah pertanyaan”. Postmodern softcore akan menjawab “teori administrasi publik postmodern nampak seperti sebuah kombinasi logika pembuatan pertimbangan yang dijelaskan dalam bab 7 mengenai teori keputusan, banyak elemen-elemen modern dari teori institusional yang digambarkan dalam bab 4, dan teori manajemen publik yang digambarkan dalam bab 5 dari Primer Teori Administrasi Publik
Menurut Farmer, teori administrasi publik modern bisa dimengerti untuk mencakup dialektika, kembali pada imajinasi, dekonstruksi arti, pemburukan, dan perubahan.
Sebagai sebuah perspektif postmodern, dialektika berkaitan dengan perbedaan dan tidak adanya perbedaan. Postmodernitas, misalkan, menyangkal perbedaan diantara tampilan dan realitas. Negara postmodern, adalah salah satu dari hiperrealitas, gabungan riil dengan tampilan, stimulasi, ilusi. Garis pembagi diantara obyek dan gambaran, deskripsi, kesan, atau simulasi dari obyek yang telah sampai pada tingkat itu dimana kita tidak lagi memiliki pengertian langsung obyek ini. Dalam sebuah keadaan hiperealitas, segala sesuatu adalah virtual dan simulasli menjadi lebih riil daripada riil (Farmer, 1995). Dalam pandangan yang paling ekstrim, postmodern menyatakan bahwa manusia telah keluar dari sejarah dan ketinggalan realitas.
Sebagaimana deskripsi singkat dialektika postmodern dan gagasan hiperealitas tunjukkan, administrasi publik postmodern berkaitan dengan definisi dan pengertian pertanyaan filosofi dasar seperti ini: apakah riil? Apakah realitas itu? Dekonstruksi adalah sentral untuk perspektif ini. Bukan sebuah metodologi atau sebuah sistem analisis, dekonstruksi postmodern.
Bisa digunakan untuk memecah narasi yang menyusun teori administrasi publik dan praktek modernis. Dekonstruksi birokrasi bisa juga digunakan untuk memecah narasi yang dibangun dalam postmodernitas. Narasi besar adalah catatan yang dianggap menjelaskan perkembangan sejarah, dan Hegel sering diberikan sebagai contoh. Narasi besar Enlightenment adalah bahwa rasionalisasi sama dengan progress manusia. Administrasi dan praktek publik juga didukung oleh narasi tertentu. Satu naratifnya adalah bahwa tujuan teori administrasi publik harusnya adalah obyektivitas. Sebuah narasi kedua adalah bahwa efisiensi adalah sebuah tujuan yang jelas untuk praktek administrasi publik. Nasasi adalah sebuah ilustrasi dasar teori modernist, dan yang lain adalah contoh dari sebuah dasar banyak praktek. Yang pasti, contoh alternatif dari narasi bisa dipilih (Farmer 1995)
Postmodernist mungkin mendekati subyek efisiensi dengan menggunakan efisiensi untuk menjadi bagian dari master narasi atau grand narasi dan kemudian mendekonstruksi narasi itu, dan, dengan ini, keduakonsep efisiensi dan aplikasi praktis seperti analisis cost-benefit atau ukuran kinerja. Melakukan ini berkaitan dengan apa yang disebut struktur dalam sebuah kata, kata di sini adalah efisiensi, dan arti yang diinginkan. Pointnya adalah bahwa kata efisiensi hanya merepresentasikan atau mensimulasikan beberapa fenomena aktual yang kita pilih untuk menggambarkan efisiensi. Jelas, efisiensi sebagia sebuah kata tidak hanya menggambarkan beberapa tetapi merepresentasikan ini. Efisiensi adalah baik, inefisiensi adalah buruk. Meskipun, dekonstruksi ini mungkin berpenampilan bagus dalam bahasa postmodern, tujuan akhir adalah seperti kritik standard efisiensi yagn sudah ditemukan dalam literatur administrasi publik. Contoh yang baik dari ini adalah emergensi dari apa yang disebut new public management, atau manajerialisme, dalam administrasi publik, sebuah perspektif yang ada dalam logika efisiensi atau narasi besar efisiensi. Apakah kritik efisiensi ditingkatkan dengan menggunakan logika postmodern atau bahasapostmodern tergantung pada bagaimana orang melihat postmodern.
Dalam dialektika postmodern, kata dan image datang bersama lebih dari image pria dan wanita dalam administrasi publik

Perspektif feminist pada administrasi publk
Ada hubungan erat diantara teori administrasi publik postmodern dan perspektif feminist pada bidang ini (Stivers 2002, 1990, 1992, 2000; Hendrick 1992; Haslinger 1996, Ferguson 1984 Cock 1989; Ackelsberg dan Shanley 1996, Morgan 1990). Persoalan dimulasi, menurut Camila Srivers, dengan ini:
Ahli administrasi publik mengakui bahwa bidang ini adalah bidang aplikasi dan cara perdebatan membuat riset mereka lebih berguna untuk praktisi, satu aspek dunia riil dari administrasi publik yang berjalan tidak diperhatikan – dinamika gender dalam kehidupan organisasi publik. Sejak pertama wanita masuk kerja pemerintahan dalam abad 19, pengalaman hidup mereka dalam agensi publik telah berbeda secara fundamental dari pria. Wanita dibayar leblih rendah, mengerjakan bagian kerja rutin yang tidak seimbang, berjuang dengan pertanyaan bagaimana mengakomodasi diri mereka sendiri untuk praktek organisasi yang didefinisikan oleh pria, memikirkan bagaimana menuju pada kemajuan pria tanpa kehilangan pekerjaan mereka, dan berusaha mengimbangkan demand kerja dengan apa yang diharapkan pada mereka – apa yang mereka harapkan dari mereka – dengan front domestik. Mereka yang telah membuat ini ke posisi tengah mendapatkan diri mereka mentok pada batas atas kaca yang menjaga jumlah wanita tetap kecil di posisi puncak.
Pada inti dari semua tantangan ini, didasarkan pada aplikasi teori postmodern pada perspektif feminist dalam administrasi publik, adalah persoalan image. Sekali lagi, menurut Stivers.
Penekanan administrasi publik, pada bukan hanya mengambil orde sederhana tetapi membuat keputusan diskresioner, adalah sebuah perhatian maskulin secara kultural yang tegang dengan apsek-aspek lain peran politik administrasi publik adalah sama femininnya- misalkan, norma pelayanan. Pada level ideology kultural, adalah wanita yang melayani yang lain dan pria yang dilayani; wanita mencurahkan dirinya untuk membantu mereka yang tidak beruntung dan pria berusaha mencapai kepentingan pribadi. Jika apa yang membuat administrator publik berbeda dari ahli lain adalah tanggung jawab pelayanan dan responsivitas, kemudian sebagai grup juga, seperti wanita, tidak cocok dengan peran profesionalnya. Profesionalisme, terlalu maskulin untuk aspek-aspek feminine dari administrasi publik. Dalam konteks ini usaha-usaha untuk menegaskan nilai administrasi publik dalma arti profesional, jurumudi, agen, ilmuwan obyektif, dan ahli netral adalah sebuah usaha untuk mendapatkan maskulinitas dan menekan feminitas atau proyek keluar. Dalam hal ini, administrasi publik tidak hanya maskulinis dan patriarki, ini adalah penyangkalan dasa terhadap sifatnya sendiri dan secara konseptual dan praktis dimiskinkan sebagai hasil. Wanita tidak hanya orang dalam administrasi publik yang dihadapkan dengan dilema gender. Theorist mungkin memuji kebaikan birokrat yang responsif dan perhatian yang melayani kepentingan publik, tetapi argument ini akan menghadapi kesulitan sampai kita mengakui bahwa responsivitas, perhatian, dan pelayanan adalah secara kultural merupakan kualitas feminis dan bahwa, dalam administrasi publik, kita ambivalen mengenai mereka untuk alasan apapun.
Perspektif feminist dalam administrasi publik berkaitan dengan usaha Mary Parker Follett (1918). Parker mengatakan bahwa proses administrasi adalah lebih penting daripada hirarki dan otoritas, dimana pelaksanaan kekuasaan adalah sebuah fitur sentral perilaku birokrasi, dan bahwa pandangan analist mengenai realitas lebih merupakan interpretasi sebuah fungsi pengalaman praktis daripada pencapaian temuan obyektif. Semua perspektif teori ini dianggap lebih feminine daripada maskulin (Stivers 1996; Morton dan Lindquist 1997)
Banyak dari elemen-elemen administrasi publik post-positivist yang digambarkan sebelumnya dalam bab ini bisa dianggap sebagai condong pada perspektif feminis dalam bidang ini. Dalam pengertian khusus, logika netralitas birokrasi adalah segala sesuatu kecuali netral. Fungsi birokrasi cenderung mensubordinasi wanita. Logika hirarki wanita juga dimengerti sebagai lebih maskulin, tetapi perspektif pelayanan atau membantu dari pendekatan proses pada fungsi birokrasi dianggap feminine (Stivers 2000)
Profesi adalah fitur penting dalam evolusi publik pelayanan publik-engineer sebagian besar wanita, guru sebagian besar perempuan, misalkan. Perbedaan profesional feminist menentukan dalam Pria Biro, Wanita Perkampungan: Konstruksi Administrasi Publik Dalam Era Progresif (Stiver, 2000). Perspektif feminist dalam era progresif ditangkap dalam sebuah studi wanita perkampungan yang mengoganisasikan dan mengoperasikan program pelayanan besar untuk orang miskin. “Reformer wanita masa ini mengembangkan pengertian mereka sendiri mengenai sains, yang berpusat tidak sekitar obyektivitas tetapi sekitar keterkaitan (Stivers, 2002). Usaha harian dari perkampungan ini melibatkan sebuah pengertian intim kondisi orang lain, simpati dan dukungan, advokasi, dan segala sesuatu tetapi bukan netralitas.
Feminist melihat kepemimpinan secara berbeda. Logika maskulin bertanggung jawab, menjadi pembuat keputusan, menjalankan otoritas, memaksimalkan efisiensi, dan berorientasi tujuan yang ditantang oleh logika kepemimpinan feminist. Perspektif feminist nampak seperti logika administrasi demokrasi yang ditemukan dalam administrasi publik post-positivist – pembuat keputusan grup, consensus, kerja tim, deliberasi, dan diskursus. Dalam bentuk ekstrimnya, ini akan mendukung organisasi tanpa pimpinan atau logika rotasi kepemimpinan.
Dari perspektif emonist, image dari administrasi publik sebagai pelindung, pahlawan, atau pimpinan dengan profil tinggi adalah maskulin. Aplikasi fairness, keharuan, dan pandangan kerakyatan dianggap sebagai lebih feminine. Administrator sebagai warga bukan pimpinan juga berhubungan dengan logika feminis:
Perspektif wanita pada negara administrasi lebih mungkin dikembangkan dalam pool secretarial atau satu sisi atau yang lain dari meja kesejahteraan sosial daripada anggota Senior Executive Service. Sebuah pendekatan feminist pada administrasi publik berarti menjalankan realitas material tempat wanita dalam birokrasi dan hambatan yang mereka hadapi sampai partisipasi yang lebih penuh, yang telah kita lihat meliputi batas atas kaca dan dinding kaca.
Sebagai tambahan, sebuah perspektif feminist pada negara administrasi akan mendukung teori untuk sampai pada istilah kekuasaan depersonal. Klalim pada diskresi administrasi adalah klaim pada kekuasaan berdasarkan pada keahlian teknis, manajerial, dan moral. Penilaian diskresioner dari administrator dikatakan bisa dijustifikasi karena mereka membuat keputusan dengan dasar pengetahuan yang lebih obyektif, visi yang lebih jelas, prinsip yang lebih tinggi, atau komitmen yang lebih dalam untuk bergulat dengan pertanyaan sulit mengenai kehidupan publik daripada warga yang lain. Klaim pada kekuasaan ditegaskan dengan basis bahwa arena dimana ini dijalankan adalah khusus karena ini publik. Tetapi sebagaimana kita lihat, sebuah sektor publik diskrit menjaga batasanya dengan mengorbankan wanita. Sebuah interpretasi feminist pada diskresi administrasi dan kekuasaan yang melekat didalamnya harus mulai dengan masuk pada pertanyaan model penilaian diskresioner yang bisa diterima. (Stivers 2002)
Banyak dialektika yang lain nampak dalam perspektif modern – image dan realitas, hitam dan putih, colonial dan postcolonial, lokal dan global, dan seterusnya. Dari ini, perspektif feminist adalah mungkin yang paling maju.

Teori postmodern dan imajinasi
Pencarian imajinasi yang lebih besar dalam administrasi publik adalah sebuah fitur penting positivisme dan postmodernisme. Sehingga, karena frustasi dengan birokrasi yang tidak responsif mungkin setua birokrasi, kebutuhan akan kreativitas organisasi sama tuanya. Dalam postmodernitas, kerinduan ini memiliki bahasa yang sedikit berbeda dan lebih berhubungan dengan penolakan paradigma lama dalam pencarian paradima baru. Basis postmodern mendasarkan pencariaan pencarian mereka untuk imajinasi yang lebih besar dengan menolak rasionalitas dan rasionalisasi (Farmer 1995): “rasionalisasi modernitas memperluas masyarakat, membawa semakin banyak dibawah domain rasionalitas…. Imajinasi postmodernitas, dalam cara yang paralel, bisa diharapkan menyebar dalam masyarakat. Individu dalam masyarakat, dan elemen-elemen masyarakat, mungkin berusaha untuk memberikan imajinasi peran sentral dalam hubungan timbal balik mereka dan dalam hidup mereka yang sebelumnya diberikan ke rasionaltias oleh modernis” (Farmer 1995)
Imajinasi adalah penting untuk teori administrasi publik postmodern karena pandangan bahwa metafora, image, alegori, kisah, parable memainkan peran penting dalam bagaimana orang berfikir. Keasyikan kita dengan rasionalitas obyektif, dalam praktek birokrasi dan dalam teori administrasi publik, batas, diklaim, kapasitas kita yang mungkin untuk imajinasi atau kreativitas. Gareth Morgan merujuk pada imajinasi sebagai seni dari manajemen kreatif (1993). Manajemen kreatif mirip dengan training manajemen humanis standard / menu intervensionis perbaikan kemampuan untuk melihat sesuatu secara berbed, sekarang secara populer dirujuk sebagai pemikiran di luar kotak, mendapatkan cara baru untuk melakukan organisasi, mendorong pemberdayaan personal, dan mendapatkan cara baru untuk melakukan organisasi diri. Ketika dihubungkan dengan teori dan metodologi riset, ini bisa dijelaskan sebagai model pembelajaran-tindakan atau riset etnogafi dimana analist/intervensionist tidak hanya terlibat dalam riset tetapi juga mengsumsikan membantu organisasi belajar memperbaiki diri.
Versi kedua perspektif imajinasi postmodern berhubungan dengan kepemimpinan dan manajemen strategik. Ini adalah panggilan untuk administrasi publik untuk memperbaiki kapasitas mereka untuk melihat sekeliling sudut, untuk memiliki visi yang lebih besar, dan untuk mengambil resiko. Sekali lagi, ini adalah sebuah bahan tetap dalam training standard / manual intervensi.
Meskipun imajinasi dan visi adalah sentral untuk argument postmodern, dalam banyak cara argument ini adalah postmodern. Ini, setelah semuanya, visi dari mereka yang diasumsikan bicara untuk dewa yang mencirikan kekuatan pengorganisasi dan pelaksanaan kekuasaan dalam dunia premodern. Dan juga, ini adalah mereka yang memiliki kekuatan oleh misteri garis keturunan yang mengontrol lahan dan tentara dunia pra modern. Logika rasionalitas memiliki kelemahan, dan ini melakukan, dan jika organisasi dan pengelolaan sektor publik melalui rasionalitas menghasilkan lebih sedikit daripada organisasi yang secara keseluruhan tidak efektif, dan kemana visi dan imajinasi teori administrasi publik modern membawa kita? Merujuk pada Plato dalam pandangan David Farmer “pemerintah terbaik tanpa hukum dan negarawan sesungguhnya adalah orang yang aturannya disesuaikan untuk setiap kasus individual. Dalam postmodernitas, perkembangan akan terjadi dalam sebuah konteks baru, konteks yang disebut Baudrillard sebagai transpolitikal (1995”. Transpolitikal adalah “kecabulan dari semua struktur dalam jagat tanpa struktur … kecabulan informasi adalah sebuah jagad devaktual … kecabulanl ruang dalam sebuah percampuran jaringan …” (Baudrillard, 1990). Ini membawa kita pada elemen administrasi publik postmodern yang memiliki warna anti negara atau anti jurisdiksi, atau anti negara secara terbuka

Karakteristik dari teori postmodern
Meskipun ini adalah sebuah generalisasi yang besar, perspektif postmodern keseluruhan cenderung sedikit otoritarisn dan anti negara. Ini mungkin nampak aneh, sehingga, dimana bidang administrasi, sebuah bidang yagn ididentifikasi dengan negara dengan pelaksanaan otoritas, akan meliputi beberapa ahli yang berusaha untuk membangun teori postmodern dari subyek ini. Ahli ini, banyak dari mereka telah disebutkan dalam bab ini, cenderung menuju perspektif postmodern lunak atau modifikasi, pandangan yang tidak terlalu dogmatic mengenai negara dan pelaksanaan otoritas negara. Kita memilih di sini untuk menggunakan elemen-elemen perspektif administrasi publik penting mengenai negara dan otoritas, dimana, dalam pandangan kami, memberikan kontribusi penting pada pengertian administrasi publik modern. Postmodern disesuaikan dengan kelemahan negara bangsa dan terhadap kritisme terbuka dan langsung. Karena ini, teori administrsi publik postmodern dekat dengan perspektif mengenai salah satu dari isu kontemporer yang paling penting yang dihadapi bidang ini: keutamaan yang menurun dari negara.
Negara bangsa modern adalah penting untuk logika inti dari administrasi publik karena bidang ini mengasumsikan adanya negara bangsa dan mengasumsikan bahwa administrator publik adalah agen dari negara dan kepentingan publik. Ini sulit untuk para ahli yang bekerja dari perspektif teori nstitusional, teori keputusan, teori manajerial, teori pilihan rasional, kontrol politik teori birokrasi, dan teori birokrasi untuk mengasumsikan jauh dari politik, jurisdiksi, atau negara. Hanya teori governenace dan teori postmodern yang terbuka terhadap tantangan terhadap asumsi bahwa praktek administrasi publik adalah representasi dari negara-bangsa dan kedaulatan. Dalam teori administrasi publik postmodern, bentuk khusus dari tantangan ini meliputi elemen-elemen dekonstruksi, imajinasi, pemburukan, dan perubahan.
Kemunculan negara bangsa moderl paralel dalam waktu berasal dari pencarahan. Meskipun teori birokratik datang kemudian, praktek birokrasi mendahului kemunculan negara dan masuk dalam negara modern. Dalam negara demokrasi modern, asumsi legitimasi birokratik didasarkan pada hukum, konstitusi, dan pengangkatan formal, dan masa jabatan semuanya didasarkan pada asumsi inti jurisdiksi dan kedaulatan nasional. Dekonstruksi postmodern dari konsep negara dan fungsi negara dalam bentuk berikut ini.
1. Negara adalah sebuah tempat, sebuah wilayah fisik dengan batas dan batasan
2. Negara adalah sebuah sejarah, sebuah konstruksi sosial realitas, dan sebuah masa lalu yang bisa digunakan
3. Sebuah negara meliputi mitos yang dibangun yang penting
4. Sebuah negara sering ditopang oleh musuh tradisional
5. Sebuah negara adalah pelaksanaan otoritas dalam bentuk tindakan terlegitimasi penguasa didasarkan pada pelaksanaan otoritas atas nama negara
6. Negara bergantung pada beberapa kapasitas untuk mengenakan pajak pada penduduknya
7. Negara diharapkan oleh penduduk atau warganya untuk memberikan ketertiban, stabilitas, prediktabilitas, dan identitas.
Postmodernist, dan banyak yang lain mengatakan bahwa dalam dunia modern, semua karakteristik negara berlaku. Batas adalah keropos terhadap orang, uang, penyakit, dan polusi. Orang semakin mobile, kurang terikat pada satu tempat dan pada satu jurisdiksi atau negara. Bisnis semakin global. Banyak transaksi modern sekarang virtual, dijalankan secara elektronik dan tanpa menghormati batas nasional, dan juga, transaksi semakin sulit dikenakan pajak dan diatur. Mush negara mungkin negara lain, tetapi mungkin, sebagaimana dipelajari AS pada 11 September 2001, pergerakan tanpa negara. Kekayaan kurang berkaitan dengan property tetap dan produksi barang, dan semakin berkaitan dengan informasi dan ide. Informasi dan ide sulit untuk dikandung dan dikelola oleh satu negara karena mereka tidak berkaitan dengan batas dan kekuasaan. Negara bangsa modern “terlalu jauh untuk mengelola persoalan ini dalam kehidupan sehari-hari … dan terlalu terbatas untuk menghadapi masalah global yang mempengaruhi kita” (Guehenno 1995)
Politik dalam negara bangsa modern ditantang oleh kondisi post modern. “dalam era jaringan, hubungan warga terhadap politik tubuh dalam kompetisi dengan infinitas koneksi yang mereka bangun di luar ini. Sehingga, politik jauh dari mengorganisaikan prinsip hidup dalam masyarakat, nampak sebagai aktivitas sekunder, jika bukan merupakan konstruksi artificial yagn kurang sesuai dengan resolusi persoalan praktis dunia modern. Ketika tidak ada lagi tempat alami untuk solidaritas dn untuk kebaikan umum, hirarki yang tersusun baik dari sebuah masyarakat disusun dalam sebuah piramida yang saling mengunci kekuasaan menghilang”. Gridlock legislatif, pengaruh uang dalam politik, dan kelompok kepentingan kekuasaan, dalam perspektif postmodern, memberikan polusi pada sistem politik. Politik modern telah bergerak dari pencapaian kebaikan umum menuju profesionalisasi kepentingan. Pencapaian hak individu bersama dengan individualisme yang berlebihan melemahkan kemungkinan kebaikan yang lebih besar. Akhirnya, pengertian publik umum mengenai politik didasarkan pada coverage media sangat dangkal, sehingga condong menuju sensasionalisme, sehingga penuh dengan personalitas, dan tidak condong untuk berhadapan dengan isu-isu dimana politik direduksi untuk membunyikan gigitan dan klise.
Jika kritik postmodern mengenai negara-bangsa adalah benar secara parsial, ini memiliki implikasi kuat untuk administrasi publik. Jika kekuasaan jelas, untuk siapa administrator publik bekerja? Jika orde konstitusional negara bangsa dirubah oleh pengaruh global, bagaimana administrasi publik harus memberikan respon?
Jawaban postmodern umum pada pertanyaan ini sedikit mirip dengan deskripsi kita mengenai teori governance dalam bab 9.
Segera ketika frontier ini tidak lagi dierikan, apakah dalam kasus korporasi atau negara, fungsi manajemen, dan sifat perubahan kekuasaan. Manajer menjadi ‘perantara’ bukan boss, menyesaikan organisasi hubungan diantara unit-unit yang berbeda … dan bahkan dalam model multidimensional ini, didasarkan pada apa yang disebut database interlocking yang menggantikan model ‘natural’, dengan cabang sederhana, meluas. Struktur hirarki, piramida, dimana untuk menjadi kuat harus mengontrol dan memerintah, digantikan oleh struktur difusi kekuasaan dengan banyak hubungan, dimana yang kuat adalah berhubungan, berkomunikasi, dan dimana kekuasaan didefinisikan oleh pengaruh bukan lagi kekuasaan.
Menurut argument ini, administrasi publik postmodern akan perlu berfikir dalam arti postnasional. Administrasi publik dalam dunia postnasional bergerak secara halus menjaduh dari logika negara atau pembangunan bangsa dan konsentrasi semakin banyak kapasitas atau kekuasaan menuju pencarian kompatibilitas multi institusional, berusaha untuk mendapatkan konvergensi jurisdiksi, dan, di atas semuanya, mencari prosedur yang akan membantu perkembangan proses keputusan yang secara umum diterima. Administrasi publik postmodern akan menjadi “sebuah jaringan persetujuan yang memfasilitas kompatibilitas diantara unit terbuka, bukan Arsitektur yang secara artificial dibangun sekitar modal”
Administrasi publik postmodern akan menjadi semuanya mengenai proses, prosedur, dan pencarian aturan. Satu postmodernis menggambarkan peran agen negara sebagai terlibat dengan agen negaralain dalam sebuah pencarian kolektif untuk rantai yang tidak nampak yang bisa mengikat orang bersama-sama.
Ketika masyarakat berfungsi, tidak ada waktu bagi munculnya konflik, ini diselesaikan dalam banyak keputusan kecil dan penyesuaian kecil, dimana yang lemah menguji kekuatan yang kuat dan yang kuat membuat yang lemah merasakan kekuatan mereka dan dimana setiap orang, dalam analisis terakhir, mendapatkan tempat mereka. Kita juga jauh di sini dari jaman kekuasaan institusional, yang melembagakan konflik, sebagaimana dari jaman feudal, dimana kemenangan yang kuat membawa pada penyerapan mereka yang lemah. Jaman imperial, yang kuat cukup kuat sehingga segera yang lemah akan mengakui tempat mereka. Geografi sosial secara natural menentukan diri sendiri.
Kedamaian damain dari jaman imperial bukan kemenangan alasan. Ini mencakup gema perjuangan bagian per bagian yang mempersiapkan jalan untuk memecah konfrontasi besar. Dalam hal ini, Jepang lebih modern daripada Amerika. Pembuatan keputusan di Jepang lebih lama daripada di Amerika, dan implimentasinya lebih cepat.
Teori administrasi publik postmodern menekankan kerja tim dan, meskipun jarang diakui, juga konformitas. Tujuannya adalah mengurangi kebutuhan hirarki struktural dan pelaksahaan kekuasaan, menempatkan mereka dalam banyak penyesuaian kecil. Karena tidak ada pusat institusional, penekanan akan pada manajemen perbedaan sosial, agama, etnis, dan kultural. Kedika ini dikerjakan dengan baik, akan ada penekanan pada kesederhanaan dalam tindakan administrasi. Pembangunan bangsa sebagai tujuan akan secara gradual menurun sebagai tujuan utama negara bangsa, digantikan oleh masyarakat yang mencari arti dalam koneksi dan asosiasi. Jaringan akan penting ketika individu, dan jaringan mengekstraksi beberapa level kepatuhan individual untuk fungsi mereka. Populasi akan terus mengenali satu sama lain sebagai bangsa, bahkan negara yang paling kuat tidak memiliki kapasitas dalam dunia global postmodern untuk melindungi dan melayani warga mereka. Penurunan kenyamanan batas geografis akan menstimulasi penemuan bentuk baru komunitas manusia.
Pendekatan Amerika pada teori administrasi publik modern cenderung kurang tegas, memilih untuk menekankan perbaikan diskursis dan administrasi yang lebih humanis dan demokratik. Postmodernist administrasi publik Amerika memiliki sedikit kepentingan dalam postnasionalisme, dimana postmodernist Eropa cenderung leblih anti negara dan jelas dipengaruhi oleh adanya Uni Eropa. Pecahnya Uni Soviet, kerusuhan terus-menerus di timur tengah, dan gejolak politik dan ekonomi di Afrika juga mempengaruhi postmodernist eropa daripada rekan mereka di Amerika.
Akhirnya, kondisi postmodern dijelaskan sebagai semakin terfragmentasi secara jurisdiksi, semakin banyak jurisdiksi kecil muncul. Pada saat yang sama, kendaraan untuk politik multi negara regional yang efektif tidak ada. Dengan tidak adanya politik regional yang efektif, tidak ada pola teratur politik regional. Namun, kekuatan dan politik regional cenderung di tangan teknisi yang berjaringan, administrator publik, spesialis yang merepresentasikan negara, dan actor-aktor non negara yang berjaringan yang merepresentasikan organisasi non pemerintahan dan bisnis global. International Monetary Fund dan World Bank adalah contoh terbaik. Sehingga, dalam dunia modern, administrasi publik lebih daripada kurang kuat dan penting. Sejauh ini ada governance regional dan bahkan global, ini terutama bidang administrasi publik (Frederickson 1999b)
Perspektif metodologi dan kontribusi pendekatan postmodern pada bidang ini
Salah satu karakteristik yang penting dari teori administrasi publik berkaitan dengan pendekatan pada metodologi. Meskipun beberapa menghubungkan dengan postmodernisme yang menolak empirisme dan obyektivitas, sebagian besar adalah empirisist dalam pengertian metodologi kualitatif. Deskripsi yang paling lengkap dari perspektif metodologis ini adalah penyelidikan naturalistic, sebuah pendekatan yang lebih diidentifikasi dengan positivisme daripada dengan postmodernisme (Lincoln dan Guba 1985). Namun, dari perspektif teori yang berbasis empiris, ini menangkap apa yang sekarang dijelaskan sebagai pendekatan postmodern pada riset lapangan. Pendekatan metodologi ini beroperasi dalam penyelidikan naturalistic sebagai berikut
1. Seting natural. Menjalankan riset dalam seting atau konteks natural. Satu alasannya adalah bahwa penulis mengatakan bahwa “realitas adalah keseluruhan yang tidak bisa dimengerti dalam isolasi dari konteks mereka”
2. Kepentingan manusia. Menggunakan manusia sebagai instrumen pengumpul data, berlawanan dengan, instrumen kertas dan pensil.
3. Penggunaan pengetahuan tacit. Berkenaan dengan pengetahuan tacit (intuitif, perasaan) sebagai legitimate, sebagai tambahan pada pengetahuan preposisional
4. Metode kualitatif. Memilih “metode kualitatif” atas kuantitatif (meski tidak secara eksklusif) karena mereka lebih bisa disesuaikan dengan berhadapan dengan banyak realitas
5. Purposive sampling. Menghindari sampling random dan representative. Satu alasannya adalah penulis mengatakan bahwa peneliti “meningkatkan skup atau range data yang diekspresikan”
6. Analisis data induktif. Satu alasan mengapa penulis lebih suka analisis data induktif adalah bahwa ini “lebih mungkin untuk mengidentifikasi banyak realitas yang ditemukan dalam data itu”
7. Teori berdasar. Lebih suka bahwa “teori substantive pemandu muncul dari …..data”
8. Desain yang muncul. Mengijikan desain riset untuk “muncul bukan membangunnya secara apriori”
9. Hasil negosiasi. Menegosiasikan “arti dan interpretasi dengan sumber manusia dimana data digambarkan secara singkat”. Satu alasannya adalah, “ini adalah konstruksi realitas dimana penyelidik berusaha membangunnya kembali”
10. Mode pelaporan studi kasus. Lebih suka “mode pelaporan studi kasus (dibanding laporan ilmiah atau teknis)
11. Interpretasi idiografis. Menginterpretasikan data dan kesimpulan “secara ideografis bukan n omoetetik”
12. Aplikasi tentative. Enggan mengaplikasikan temuan secara luas
13. Batasan yang ditentukan terfokus pada penylisikan “dengan dasar fokus yang muncul”
14. Kriteria khusus untuk keterpercayaan. “Kriteria keterpercayaan konvensional tidak konsisten dengan aksioma dan prosedur penyelidikan naturalistic”

Sebuah badan impresif yang mengesankan didasarkan pada penggunaan riset pada intinya menggunakan pendekatan metodologi ini. Salah satu analisis empiris perilaku birokrat level bidang ini dan penuntut kesejahteraan menggunakan pendekatan metodologi ini. Studi yang mengesankan dari operasi level jalan untuk hukum dan sistem hukum jelas diidentiifkasi sebagai postmodern. Sebuah analisis penting perilaku pilihan pekerja sosial level jalan, manajer kasus disabilitas, dan guru menggunakan sebuah metodologi postmodern. Pada basis metodologi dari semua studi ini adalah narasi dan kisah dan koleksi teliti dan interpretasi mereka. Pengertian birokrasi, sebagaiman digambarkan sebelumnya dalam bab ini dan bab 4, ada di inti logika temuan empiris dalam studi ini. Kisah dan narasi menceritakan kembali detail signifikan bagaimana administrator publik menginterpretasikan hukum dan aturan umum dalam aplikasi harian hukum dan aturan ini pada klien dan warga spesifik. Rekonsilisasi hukum, regulasi, dan kebijakan dengan klien khusus dan kualifikasi dan kebutuhan warga adalah interpretif dan dimengerti sebagai pembuatan pertimbangan. Dan studi ini dan studi lain yang sama, mendekati pada deskripsi akurat bagaimana pelayanan publik diberikan, dan mengapa, daripada interview atau data surve. Tetapi studi ini sulit direplikasi, dan teori yang mereka uji adalah padat dan tidak elegan.
Menggunakan penalaran logika, deduksi, dan filosofis, para ali yang bekerja dari perspektif teori administrasi publik postmodern memberikan analisis profokatif pada masalah tanggung jawab administrasi, kepercayaan, gender, legitimasi dan banyak isu lain bidang ini. Meskipun studi ini mungkin dikritik karena kurang basis empiris, kritisme yang sama bisa ditingkatkan pada pemodelan matematis berbasis asumsi untuk menguji teori pilihan rasional.
Riset dan teori postmodern, sebagai tambahan pada tempat sentralnya dalam Jaringan Teori Administrasi Publik dan jurnal mereka, Praksis Teori Adminsitrasi, sangat berpengaruh diantara anggota Hukum dan Asosiasi Masyarakat. Publikasi yang penting berkaitan berkaitan dengan administrasi publik, tetapi sangat dipengaruhi oleh teori postmodern, adalah jurnal yang berkaitan dengan wanita dalam sektor publik seperti Wanita dan Politik. Ini mungkin merupakan sebuah generalisasi aman dimana banyak isu administrasi publik dibahas dalam literatur ini berkaitan dengan ras, gender, kelas, dan ketidak adilan – semuanya adalah tema sentral dalam pemikiran postmodern.
Perspektif metodologi postmodern yang dijelaskan di sini berhubungan dengan pemburukan, sebuah pendekatan analitik yang berusaha memecah teritori struktural yang ditemukan dalam semua organisasi. Teritori ini tercermin dalam kategori departemental dan biro, dalam kategori akuntansi, dalam profesi khusus dan proses pendidikan yang mempersiapkan orang untuk pelayanan publik, dan dalam cara lain dimana pekerjaan dibagi. Seperti setiap orang secara virtual dalam administrasi publik, postmodernist berusaha untuk memecah silo organisasi dan pola pemikiran tetap yang datang dengan kategori dan teritori intelektual. Dalam lingo postmodern, de-teritorialisasi postmodern telah lama menjadi bagian dari administrsi publik, meskipun postmodern bisa mengklaim bahwa pendekatan mereka memperbaiki kekurangan struktural organisasi menjanjikan pendekatan yang lebih sukses daripada sebelumnya.
Perspektif metodologi juga meliputi logika perubahan, atau sebuah perhatian untuk ‘moral yang lain’ di sisi administrator publi. Postmodern jelas mengklaim bahwa semua tindakan administrasi secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi yang lain dan dimana administrasi publik tradisional menyembunyikan, mengabaikan, menggeneralisasi, atau merasionaliasi pengaruh ini. Administrasi publik, menurut postmodernist, perhatian pada kebutuhan yang lain yang digeser dari ide abstrak non spesifik yang lain menuju yang lain yang konkrit, hidup, aktual. Sehingga, agenda riset postmodernist berkaitan dengan pertimbangan level dasar fungsi birokratik dan konsekwensi fungsi pada yang lain. Ini adalah postmodernist yang nampak mewarisi banyak riset birokrasi level jalan, dan memiliki riset yang lebih maju. Satu contoh kontemporer dalam isu ini adalah “kerusakan kolateral” terkait dengan perang.
Meskipun riset postmodern memberikan kontribusi pada pengertian kita mengenai kewajiban administrasi publik pada setiap warga, ini fair untuk menunjukkan bahwa isu ini adalah bagian dari subyek tersebut dan bagian dari agenda riset selama beberapa tahun.